PEKANBARU,CATATANRIAU.COM -
Banjir yang melanda wilayah hilir Sungai Kampar, khususnya di Kabupaten Pelalawan, kembali menjadi sorotan. Hearing yang digelar oleh DPRD Riau bersama berbagai pemangku kepentingan—Balai Wilayah Sungai Sumatera III, BPJN Riau, PLN, hingga pengelola PLTA Koto Panjang—menunjukkan bahwa masalah ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan hasil dari kelalaian dalam pengelolaan sumber daya air dan lingkungan.
Mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Mahasiswa Pelalawan Bersatu (IPMPB) secara tegas menuntut transparansi dalam operasional PLTA Koto Panjang, terutama terkait pembukaan spillway yang diduga memperburuk banjir.
Tuntutan ini beralasan, mengingat warga yang terdampak terus mengalami kerugian tanpa adanya kompensasi atau mitigasi yang memadai.
Namun, banjir ini bukan hanya soal PLTA. Kerusakan hutan di hulu, pengelolaan lahan gambut yang buruk, serta maraknya aktivitas pertambangan ilegal juga menjadi faktor utama yang memperparah kondisi ini.
Ketidaktegasan pemerintah dalam mengendalikan alih fungsi lahan dan eksploitasi lingkungan menjadi akar masalah yang tak kunjung terselesaikan.
Seharusnya, stakeholder terkait tidak saling melempar tanggung jawab. Pemerintah daerah, legislatif, dan pihak-pihak teknis harus memiliki koordinasi yang jelas dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kampar.
Tanpa kebijakan mitigasi yang berkelanjutan, banjir akan terus terjadi, dan warga akan selalu menjadi korban.
Solusi yang diajukan dalam hearing, seperti pembangunan tanggul, jalan layang, serta revisi SOP PLTA, harus segera diwujudkan, bukan sekadar wacana di ruang rapat. Lebih dari itu, pengawasan terhadap tata guna lahan di hulu juga harus diperketat.
Jika semua pihak benar-benar berkomitmen, maka banjir tidak lagi menjadi bencana tahunan yang hanya ditanggapi dengan hearing tanpa hasil nyata.
Saatnya pemerintah dan stakeholder bertindak! Rakyat butuh solusi, bukan janji. ***
Laporan : E Pangaribuan